JAKARTA – Sejumlah kalangan menilai kegagalan Indonesia menjadi
negara maju karena maraknya korupsi, dan terjadi penyalahgunaan
kekuasaan (abuse of power) yang melahirkan sistem kediktatoran.
Untuk itu, Indonesia jangan mundur dengan mengulang kesalahan masa
lalu. Saat ini, kekuasaan oligarki begitu kuat. Apalagi jika suara
rakyat dihilangkan, kekuasaan itu bakal semakin kuat. Ini berpotensi
mendorong terjadinya kembali abuse of power.
Ekonom Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Ahmad Ma’ruf,
mengemukakan skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) bisa
muncul di era Orba akibat intervensi kekuasaan yang sangat besar.
“Contoh lain dari abuse of power adalah kartel impor pangan yang mematikan petani. Jadi, sumber akar masalah kita adalah abuse of power dan korupsi yang mematikan RI,” papar dia, ketika dihubungi, Rabu (27/11).
Dia menambahkan saat ini pun RI sebenarnya belum mampu melewati
revolusi industri 3.0. Indikasinya, cangkul saja masih impor. “Ini bisa
terjadi karena dimatikan sistem kroni kapitalisme,” tukas Ma’ruf.
Pakar kebijakan publik dari Universitas Airlangga, Gitadi Tegas,
menambahkan sekarang Indonesia ingin lompat langsung ke revolusi
industri 4.0 untuk mengejar ketinggalan di revolusi industri 3.0.
“Maka kroni kapitalisme harus dihilangkan karena sistem inilah yang
meminggirkan ekonomi rakyat. Pengusaha yang dipelihara penguasa punya
kekuasaan mematikan pesaing. Free market dibunuh oleh oligarki dalam kroni kapitalisme,” tutur dia.
Menurut Ma’ruf, dalam revolusi industri 4.0 ada hal yang mendasar,
yaitu penciptaan lapangan kerja yang masif. Ini hanya bisa dilakukan
melalui sinergi pemerintah dan pengusaha (swasta).
“Kerja sama ini bisa optimal, dengan catatan pengusaha diberikan
keamanan dan kenyamanan dalam berusaha. Maka kroni kapitalisme dan
kriminalisasi kasus perdata pada pengusaha harus dibasmi total, karena
itulah yang menghambat kemajuan kita,” tegas dia.
Ma’ruf menekankan sistem kroni kapitalisme membuat banyak usaha
tidak bisa hidup di alam bebas dan ada kepastian hukum. Ini tecermin
dari fenomena hampir tidak ada perusahaan Indonesia yang sukses di
mancanegara karena terbiasa dengan sistem kroni.
“Kalau Indonesia mau maju, hapuskan sistem itu demi 260 juta rakyat dan cita-cita founding fathers. Kita harus mampu bersaing, jangan cuma jadi tukang jahit dan tukang rakit,” ujar dia.
Ma’ruf mengingatkan Indonesia harus mampu memajukan diri sendiri,
jangan bergantung pada asing karena mereka punya kepentingan sendiri.
“Ibaratnya, kita seperti pohon kecil yang dikelilingi pohon-pohon
tinggi dan besar, sehingga sulit dapatkan sinar matahari untuk tumbuh.
Pohon kecil nggak bisa harapkan pohon besar, jadi harus kuatkan akar sendiri agar bisa tumbuh tinggi dan mendapatkan sinar matahari,” kata dia.
Definisi Ulang
Terkait dengan revolusi industri 4.0, Katica Roy, CEO Pipeline, dalam tulisan berjudul The Fourth Industrial Revolution is redefining the economy as we know it,
di situs World Economic Forum (WEF), Selasa (26/11), memaparkan tiga
kerangka kerja ekonomi utama yang paling membutuhkan perbaikan revolusi
industri 4.0.
Ketiganya adalah penciptaan pendapatan, partisipasi angkatan kerja, dan Produk Domestik Bruto (PDB).
Menurut dia, untuk beradaptasi dengan gelombang perubahan yang
mentransformasikan ekonomi, para pemimpin kebijakan dan bisnis harus
mempertimbangkan sejumlah pedoman untuk memastikan tidak ada seorang
pun, pria atau wanita, yang tertinggal.
Pertama, perlu mendefinisikan kembali pekerjaan dalam
konteks ekonomi digital. Apa yang dimaksud dengan pekerjaan dalam
ekonomi konteks yang berkembang? Perlindungan sosial apa yang disediakan
untuk kesehatan pekerja? Bagaimana menjaga mereka agar tetap aman
bekerja dalam dalam lokasi yang jauh dan liar?
“Kedua, kita harus mengingat demografi angkatan kerja yang
terus berubah dan menciptakan solusi untuk mendukung tenaga kerja masa
depan,” ujar Roy.
Ketiga, pemerintah dan bisnis harus mengambil tindakan untuk
secara proaktif melatih kembali tenaga kerja mereka. Sebagai contoh,
pemerintah AS dapat melatih kembali lebih dari tiga perempat tenaga
kerja yang digantikan teknologi dengan investasi 19,9 miliar dollar AS,
dan menghasilkan pengembalian positif melalui pajak dan biaya
kesejahteraan yang lebih rendah.
“Akhirnya, kita harus menerapkan sudut pandang gender ke semua
pengambilan keputusan di masa depan, dan bukan hanya karena itu adalah
hal yang benar untuk dilakukan,” tukas Roy. Kesetaraan gender memiliki
potensi ekonomi global sebesar 12 triliun dollar AS.







0 comments:
Post a Comment