JAKARTA – Publik mengharapkan institusi pengawal anggaran, yakni
Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), DPR, dan
DPRD meningkatkan sistem dan pertanggungjawaban pengawasan belanja
daerah dan kementerian.
Pengawasan yang ketat sepanjang proses penggunaan anggaran akan
membuat uang rakyat benar-benar efektif dan tepat guna untuk berbagai
kegiatan yang menyejahterakan rakyat, bukan sekadar membakar anggaran,
menguap tanpa hasil.
“Rakyat minta sistem pertanggungjawaban Dewan dan LKPP dalam
mengawasi anggaran belanja pemerintah daerah maupun kementerian
ditingkatkan. Kalau LKPP melaksanakan tugasnya sejak awal perencanaan
maka penggunaan APBD berpeluang besar bisa sepenuhnya dinikmati rakyat,”
ujar Direktur Eksekutif Jakarta Public Service (JPS), M Syaiful Jihad,
di Jakarta, Senin (4/11).
Dia menambahkan legislatif, baik DPR dan DPRD, sebenarnya memang
bertugas mengawasi pelaksanaan anggaran negara maupun anggaran daerah.
Fungsi itulah yang perlu diperkuat Dewan dengan sistem
pertanggungjawaban yang terus ditingkatkan.
“Jadi, bukan hanya ketat mengawasi anggaran rutin, tapi juga perlu melacak APBD yang menguap dan dikorupsi,” ujar dia.
Menurut Syaiful, penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD) itu rawan dikorupsi karena minim pengawasan sejak awal
perencanaan dan penyusunannya. Padahal, saat ini sudah ada sistem e-budgeting sehingga pengawasan APBD semestinya lebih mudah.
“APBD itu harus rinci dan transparan mulai dari perencanaan
belanja, tender, hingga pelaksanaan. Bahkan, data mengenai vendor atau
pemasoknya juga mesti dicantumkan lengkap dengan susunan pengurus, dari
direksi hingga pemegang saham lalu ditampilkan pada website agar bisa dievaluasi oleh publik secara terbuka,” ungkap Syaiful.
Secara terpisah, Kepala LKPP, Roni Dwi Susanto, mengemukakan upaya
digitalisasi dan transparansi pengadaan barang dan jasa sudah kerap
dilakukan. Menurut dia, lewat digitalisasi sistem pengadaan barang dan
jasa, ada efisiensi 154 triliun rupiah yang bisa dilakukan.
“Jadi era digital LKPP sudah transformasi, dulu manual, dimulailah muncul e-catalog, e-procurement, penyempurnaan sistem aplikasi berjalan terus. E-catalog juga sistemnya selalu disempurnakan, sistem layanan juga, membuat clearing house, pelaporan tidak perlu ke LKPP. Artinya, kita berikan yang terbaik melalui digitalisasi yang kami yakin dengan procurement itu bisa saya sebut tadi efisiensi,” kata Roni, dalam satu diskusi, di Jakarta, Senin.
Dia mengatakan lewat sistem digital, pengadaan barang dan jasa
makin terbuka dan akuntabel. Namun, ungkap dia, masih saja ada orang
tidak berintegritas yang menjebol sistem demi bisa melakukan korupsi.
“Semakin transparan dengan prinsip pengadaan yang efisien, efektif,
terbuka bersaing, adil, akuntabel, kita bisa buktikan, walau masih
terjadi tindak pidana korupsi. Tapi, sistemnya yang tetap dijebol orang
tidak berintegritas,” ungkap Roni.
Dia menilai ada pihak yang sengaja membuat celah agar korupsi masih
bisa dilakukan. Menurut Roni, korupsi dalam era sistem pengadaan
digital tak pernah terjadi sendiri. “Tidak pernah ditemukan korupsi itu
sendirian, selalu ada perselingkuhan, dengan menteri, pelaksanaan
kegiatan, satker,” papar dia.
Direktur Penelitian dan Pengembangan Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK), Sari Anggraini, mengemukakan ada pergeseran modus korupsi
seiring makin transparannya pengadaan barang dan jasa. Dia menyebut
terbitnya Perpres 54 Tahun 2010 juga membatasi korupsi di proses
pelaksanaan administrasi pengadaan barang dan jasa.
“Bergeser, pola korupsi ke bagian hulu, tadinya bagian pelaksanaan,
sekarang di proses perencanaan anggaran, karena proses ini salah satu
proses belanja terkait penganggaran. Pada saat proses penetapan dan
pembahasan di situ mulai kongkalikongnya,” tukas dia.
Rinci dan Transparan
Sebelumnya, sejumlah kalangan mengemukakan informasi pengelolaan
APBD mesti dilakukan secara rinci dan transparan mulai dari perencanaan
belanja, tender, hingga pelaksanaan. Bahkan, data lengkap pengurus
vendor atau pemasoknya juga mesti dicantumkan. Data tersebut kemudian
dimuat di website agar bisa dievaluasi oleh publik secara terbuka.
Pakar komunikasi politik dari Universitas Airlangga (Unair)
Surabaya, Suko Widodo, menambahkan Kementerian Pendayagunaan Aparatur
Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB) layak mewajibkan pemerintah
daerah untuk memublikasikan lewat situs resmi terkait perencanaan
APBD, pelaksanaan, dan hasil program pembangunan.
Hal itu, lanjut dia, sejalan dengan Undang-Undang Nomor 14/2008
tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) yang mewajibkan setiap
badan publik menyediakan informasi tentang penyelenggaraan kegiatan.
Pemerintah daerah yang menolak memublikasikan anggaran, kegiatan atau
program dapat dituntut.
“Selama ini sebetulnya setiap badan publik telah memiliki PPID
(Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi) yang tugas menyediakan
informasi untuk publik. Jadi, baik diminta atau tidak oleh publik, maka
badan publik harus menyediakan, kecuali informasi yang dikecualikan,”
jelas Suko
0 comments:
Post a Comment