Pandangan Al-Qur’an mengenai manusia sebagai khalifah memiliki tugas
mulia dan misi besar untuk di jalankan di muka bumi, sebagaimana
dikemukakan dengan jelas di dalam beberapa ayat Al-Qur’an, salah satunya
di dalam QS. Az-Zariyat (51) ayat 56:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ
Artinya: “Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku”.
Berdasarkan hal ini-lah bertafakkur tentunya menjadi salah satu ciri
penting, bukan saja yang membedakan manusia dengan mahluk lainnya,
tetapi juga menjadi salah satu prasyarat melaksanakan peran penting
sebagai khalifah, untuk mengemban pembangunan peradaban sekaligus
pembawa visi misi di muka bumi.
Dalam istilah Arab, tafakkur artinya berpikir. Menurut
Al-Fairuzabadi, salah seorang linguis Muslim awal terkemuka, al-fikr
(pikiran) adalah refleksi atas sesuatu: afkar adalah bentuk jamaknya.
Menurut pandangannya, fikr dan tafakkur adalah sinonim dan keduanya
memiliki makna sama.
Menurut Profesor Malik Badri, seorang psikolog Muslim kontemporer,
menjelaskan perbedaan antara tafkir dan tafakkur. Tafakkur lebih dalam
dan lebih luas ketimbang tafkir. Tafakkur menjembatani persepsi dan
konsepsi dari kehidupan dunia ini ke akhirat dan dari makhluk ke
Penciptanya, Allah Swt. Perantaraan ini dikenal dengan i’tibar.
Jadi, tafkir bisa jadi terbatas pada pemecahan masalah hidup kita
saat ini yang tak melibatkan emosi, namun, tafakkur melampaui hidup ini
ke wilayah lebih luas, akhirat, dan melampaui kedangkalan materialisme
menuju horizon lebih dalam, “ruh”, dan dengan demikian tafakkur
memotivasi seluruh aktivitas eksternal dan internal kaum muslim.
Di dalam Al-Qur’an terdapat 18 kali yang mengulang-ulang mengenai
taffakur, salah satunya Allah Swt menyampaikan FirmanNYA di dalam QS.
A-Nahl (16) ayat 11:
يُنْۢبِتُ لَكُمْ بِهِ الزَّرْعَ وَالزَّيْتُوْنَ وَالنَّخِيْلَ وَالْاَعْنَابَ وَمِنْ كُلِّ الثَّمَرٰتِۗ
اِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيَةً لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ
Artinya:
“Dengan (air hujan) itu Dia menumbuhkan untuk kamu tanam-tanaman,
zaitun, kurma, anggur dan segala macam buah-buahan. Sungguh, pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang
yang berpikir".
Sedangkan pengertian Pendidikan Islam menurut Muhaimin dapat dipahami dalam beberapa perspektif, yaitu:
a). Pendidikan menurut Islam, atau pendidikan yang berdasarkan Islam
dan sistem pendidikan yang Islami, yakni pendidikan yang dipahami dan
dikembangkan serta disusun dari ajaran dan nilai-nilai fundamental yang
terkandung dalam sumber dasarnya, yaitu Al-quran dan Al-sunnah/hadits.
Dalam pengertian yang pertama ini, pendidikan Islam dapat berwujud
pemikiran dan teori pendidikan yang mendasarkan diri atau dibangun dan
dikembangkan dari sumber-sumber dasar tersebut.
b). Pendidikan ke-Islaman atau pendidikan agama Islam, yakni upaya
mendidikan agama Islam atau ajaran Islam dan nilai-nilainya, agar
menjadi way of life (pandangan dan sikap hidup) seseorang. Dalam
pengertian yang kedua ini dapat berwujud (a) segenap kegiatan yang
dilakukan seseorang dalam membantu seorang atau sekelompok peserta didik
dalam menanamkan dan menumbuh kembangkan ajaran Islam dan
nilai-nilainya untuk dijadikan sebagai pandangan hidupnya, yang
diwujudkan dalam sikap hidup dan dikembangkan dalam keterampilan
hidupnya sehari-hari; (b) segenap fenomena atau peristiwa perjumpaan
antara dua orang atau lebih yang dampaknya ialah tertanamnya and tumbuh
kembangnya ajaran Islam dan nilai-nilainya pada salah satu atau beberapa
pihak.
c). Pendidikan dalam Islam, atau proses dan praktik penyelenggaraan
pendidikan yang berlangsung dan berkembang dalam sejarah umat Islam.
Dalam arti proses bertumbuh kembangnya Islam dan umatnya, baik islam
sebagai agama, ajaran maupun sistem budaya dan peradaban, sejak zaman
Nabi Muhammad Saw sampai sekarang. Jadi dalam pengertian yang ketiga ini
istilah “pendidikan Islam” dapat dipahami sebagai proses pembudayaan
dan pewarisan ajaran agama, budaya dan peradaban umat Islam dari
generasi ke generasi sepanjang sejarahnya.
Pendidikan Islam menurut Ahmad Tafsir berpendapat bahwa pendidikan
agama Islam adalah bimbingan yang diberikan seseorang kepada seseorang
agar ia berkembang secara maksimal seusia dengan ajaran Islam.
Sedangkan menurut Ibn Khaldun di dalam buku Mukadimmah mempunyai
pengertian yang cukup luas. Pendidikan bukan hanya merupakan proses
belajar mengajar yang dibatasi oleh empat dinding, tetapi pendidikan
adalah suatu proses, dimana manusia secara sadar menangkap, menyerap,
dan menghayati peristiwa-peristiwa alam sepanjang zaman.
Dari beberapa pengertian diatas maka dapat disimpulkan bahwa
pendidikan Islam adalah usaha-usaha dalam mendidikan Islam secara
terencana melalui pengalaman, pengetahuan, kecakapan, dan keterampilan
sehingga peserta didik dapat mengenal, memahami, menghayati dan
mengimani ajaran Islam.
Sebagai orang yang beriman dengan memahami pengertian taffakur dan
pendidikan Islam di atas dalam menghadapi Coronavirus Covid-19, yang
merupakan virus yang pertama kali ditemukan di Wuhan Cina pada Desember
2019. Kita semua dapat bertafakkur juga dengan kisah yang pernah terjadi
saat zaman kekhalifahan Umar bin Khattab, dimana pada zaman
pemerintahan beliau ini pernah terjadi wabah yang bermula di daerah
Awamas, sebuah kota sebelah barat Yerussalem, Palestina, sehingga
dinamakan demikian.
Di dalam buku biografi Umar bin Khattab karya Muhammad Husein Haekal
menjelaskan, wabah tersebut menjalar hingga ke Syam (Suriah), bahkan ke
Irak. Diperkirakan kejadian wabah ini akhir 17 Hijriah, dan memicu
kepanikan massal saat itu. Di dalam sebuah hadis yang di sampaikan
Abdurrahman bin Auf mengenai sabda Nabi SAW:
“Apabila kalian mendengar wabah tha’un melanda suatu negeri, maka
janganlah kalian memasukinya. Adapun apabila penyakit itu melanda suatu
negeri sedang kalian kalian di dalamnya, maka janganlah kalian lari
keluar dari negeri itu.” (Muttafaqun ‘alaihi, HR. Bukhari & Muslim).
Pada akhirnya wabah tersebut berhenti ketika sahabat Amr bin Ash ra
memimpin Syam. Kecerdasan beliau-lah dan dengan ijin Allah Swt yang
menyelamatkan Syam. Amr bin Ash berkata:
“Wahai sekalian manusia, penyakit ini menyebar layaknya kobaran api.
Maka hendaklah berlindung dari penyakit ini ke bukit-bukit!”. Saat itu
seluruh warga mengikuti anjurannya. Amr bin Ash dan para pengungsi terus
bertahan di dataran-dataran tinggi hingga sebaran wabah Amawas mereda
dan hilang sama sekali.
Dari kisah di atas kita semua dapat belajar dari orang-orang terbaik
bersikap, dan juga yang telah di contohkan oleh Rasulullah Saw. Apa yang
dapat kita ambil ibrah atau pembelajarannya adalah:
Pertama, karantina sebagaimana sabda Rasulullah SAW diatas,
itulah konsep karantina yang hari ini kita kenal. Mengisolasi daerah
yang terkena wabah, adalah sebuah tindakan yang tepat. Kita bisa melihat
dari sebuah tabel dibawah ini, bersumber dari harian Washington Post.
Keterangan bebasnya dapat diartikan sebagai berikut, searah jarum jam:
1. Orang bergerak bebas, dimana orang menularkan corona secara bersamaan.
2. Kurva kedua dilakukan lockdown, sehingga ada waktu untuk bisa melakukan penyembuhan secara bertahap.
3. Kurva ketiga dilakukan “social distancing”, dengan berdiam diri di rumah dan mengurangi berbagai kegiatan sementara waktu.
4. Kurva keempat dilakukan dengan sangat extreme, dengan melakukan jam
malam dan sangat ketat, untuk tidak keluar rumah bahkan diberikan jam
waktu.
Kedua, bersabar.
Di dalam sebuah hadis riwayat Imam Bukhari diceritakan, suatu kali
Aisyah bertanya kepada Nabi SAW tentang wabah penyakit. Rasulullah SAW
bersabda, “Wabah penyakit itu adalah orang-orang yang DIA kehendaki.
Allah menjadikannya sebagai rahmat bagi orang-orang yang beriman. Jika
terjadi suatu wabah penyakit, ada orang yang menetap di negerinya, ia
bersabar, hanya berharap balasan dari Allah Swt. Ia yakin tidak ada
peristiwa yang terjadi kecuali sudah ditetapkan Allah. Maka, ia mendapat
balasan seperti mati syahid.”
Ketiga, berbaik sangka dan berikhtiarlah.
Karena Rasulullah SAW bersabda:
Tidaklah Allah SWT menurunkan suatu penyakit kecuali Dia juga yang menurunkan penawarnya. (HR. Bukhari).
Dalam kisah Umar bin Khattab berikhtiar menghindarinya, serta Amr bin
Ash berikhtiar menghapusnya. Istilah saat ini dan sedang kita lakukan
adalah melakukan “social distancing”, dilansir dari The Atlantic,
tindakan yang bertujuan untuk mencegah orang sakit melakukan kontak
dalam jarak dekat dengan orang lain untuk mengurangi peluang penularan
virus. Artinya juga sementara waktu menjauhi perkumpulan, menghindari
pertemuan massal, dan menajga jarak antar manusia.
Keempat, banyak berdoalah.
Perbanyak do’a-do’a keselamatan, salah satu contohnya yang sudah
diajarkan Rasulullah Saw untuk di lafadzkan di setiap pagi dan sore
berikut ini:
“Bismillahilladzi laa yadhurru maasmihi, say'un fil ardhi walafissamaai wahuwa samiul'alim”.
Artinya:
“Dengan nama Allah yang apabila disebut, segala sesuatu dibumi dan
langit tidak berbahaya. Dialah maha mendengar dan maha mengetahui).
Barang siapa yang membaca dzikir tersebut 3x dipagi dan petang. Maka
tidak akan ada bahaya yg memudharatkannya. (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)
Berdasarkan pemahaman Spiritualism dan Rasionalism dapat dikatakan juga,
seseorang yang memiliki tingkat spiritual tinggi, maka akan memiliki
hormon endorphin yang lebih banyak dibandingkan dengan yang tingkat
spiritual rendah. Mengapa bisa demikian?.
Walaupun belum ditemukan penelitian secara ilmiahnya, namun logikanya
secara sederhana bisa kita perhatikan pada orang yang jauh dari Allah
Swt, biasanya mudah mengalami stress, pada kondisi stress hormon yang
bekerja adalah adrenalin, norepinephrine dan kortisol. Hormon stress
akan menyebabkan asam lambung naik, sistem imun turun, sehinggag mudah
terkena penyakit. Sebaliknya pada oang-orang yang beriman dan tawakal,
hormon oxytocin bekerja lebih baik, sehingga akan menghasilkan endorphin
yang tinggi yang menimbulkan kedamaian, ketenangan sehingga sistem imun
tubuh menjadi lebih kuat.
Terkait dengan wabah coronavirus covid 19 ini, sebagai seorang
mu’min, maka sebaiknya selain melakukan juga ikhtiar karantina atau
“social distancing” ini, maka tingkatkan juga spiritual kita. Jika dapat
bertafakkur lebih jauh, sebagai muslim semua wabah ini adalah sebuah
rahmatNYA, sebuah peringgatan bagi yang berpikir, untuk terus
menjadikannya sebagai wasilah atau jalan untuk terus banyak mendekatkan
diri kepada Allah Swt, sehingga ketika tingkat kepasrahan tinggi maka
akan dirasakan ketenangan dan dengan segala usaha dan do’a keselamatan
juga kepada Allah Swt, dengan selalu melibatkanNYA, dan berharap semua
wabah ini akan berakhir, dan dapat pula segera ditemukan penyebabnya,
InShaAllah
AamiinYRA.
Dialah Allah Sang Maha Pencipta lagi Maha Mengetahui
Penulis adalah Dosen FAI UIKA Bogor
0 comments:
Post a Comment