JAKARTA-Distribusi Bantuan Sosial (Bansos) untuk warga miskin selalu
terkendala. Tak hanya di pemerintah pusat, tapi juga di desa. Biang
keroknya yakni data kemiskinan yang berbeda antara pusat dan daerah. Tak jarang, pemutakhiran data di pusat dan daerah juga amburadul.
Dampaknya, saat pembagian bansos warga terdampak Covid-19 menjadi
terhambat. Ada yang tidak tercatat, malah ada juga yang salah sasaran.
Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) punya solusi soal
pemutakhiran data kemiskinan agar selaras antara pemerintah pusat,
daerah sampai ke kepala desa.
Peneliti SMRC, Sirajuddin Abbas mengatakan, salah satu caranya
membongkar sistem lama. Sistem baru yang dimaksud melibatkan aparatur
desa.
"Betul (libatkan aparatur desa), itulah yang harusnya menjadi leading
sector. Selama ini mereka belum dilibatkan secara maksimal,” kata
Sirajuddin saat berbincang dengan merdeka.com, Jumat (1/5).
Padahal, lanjut dia, UU Desa nomor 6 tahun 2014 sangat memungkinkan
untuk memaksimalkan peran aparatur desa. Saat ini, Kementerian Desa,
hanya boleh mendata orang-orang yang dinilai pantas menerima bantuan BLT
Desa.
Sementara Kemensos punya program lain lagi. Kemensos mendata
orang-orang tidak mampu untuk Program Keluarga Harapan (PKH). Penerima
BLT Desa tidak boleh tercatat sebagai penerima PKH.
"Artinya, kalau aturan Kementerian Desa dan Kementerian Sosial itu
misalnya ingin mendata orang-orang yang tidak menerima program PKH atau
program lainnya itu, calon penerima program BLT Desa. Maka bisa
dipastikan, itu yang program PKH yang salah sasaran itu tidak bisa
dikoreksi. Makanya saya menawarkan pemerintah dengan senang hati bantu
atau merombak sistem pendataan sekaligus update data kemiskinan," tegas
Sirajuddin.
Terlebih, saat ini hampir semua aparatur desa sudah memiliki
teknologi yang canggih dengan adanya komputer yang dilengkapi dengan
jaringan internet.
"Sekarang semua desa itu dari sekian desa itu puluhan sekian ribu
desa itu semuanya sudah punya akses pada komputer, internet, terlatih
menginput data, membuat laporan keuangan, tinggal ke situ," ujarnya.
Dalam Undang-Undang Desa, aparatur desa sudah memiliki kewajiban
untuk membantu penyelenggaraan program-program kesejahteraan sosial. Dan
setiap desa punya anggaran untuk operasional kantor hariannya juga
termasuk membayar staf.
Menurutnya, aparatur desa itu merupakan salah satu instusi pemerintah
yang langsung melayani masyarakat di tingkat bawah. Karena, institusi
tersebut punya aparatur mulai dari RW, RT. Merekalah yang paling tahu
siapa dan dimana orang miskin tersebut.
"Mereka tahu pasti alamatnya, namanya, kemampuan sumber
pendapatannya, berapa banyak keluarganya secara langsung. Kalau unitnya
adalah RT, maka RT itu dalam satu jam sudah bisa dia data dalam RT-nya
itu yang mungkin hanya 40-60 rumah tangga, jadi mereka bisa cepat,"
sebutnya.
Dia meminta, pemerintah menggunakan pengurus RT dan RW sebagai pusat
informasi pengumpulan update data kemiskinan. Itu bisa menggunakan juga
dibantu dengan penggunaan teknologi, sehingga lebih efisien.
Menurutnya, pendataan kemiskinan yang kini dimiliki oleh Kementerian
Sosial sudah tidak layak lagi digunakan. Oleh karena itu, ia ingin agar
melibatkan aparatur desa dalam melakukan pendataan kemiskinan.
"Instrumen pendataan kemiskinan dimiliki oleh Depsos itu menurut saya
udah tidak pantas lagi dipakai, harus dibuat instrumen yang lebih
tajam. Sekarang lebih baik dan mungkin lebih praktis untuk digunakan di
tingkat desa," ucapnya.
Kelemahan Dalam Mendata Kemiskinan
Sirajuddin menambahkan, ada kelemahan utama di dalam model
pendataan kemiskinan yang ada di Indonesia. Kelamahan pertama yakni
karena menggunkan Proxy Mean Test (PMT).
"Jadi perkiraan statistik terhadap proporsi orang miskin yang berada
di masyarakat. Karena dia bersifat proxy, maka itu adalah simulasi
sifatnya, perkirakan jumlah keseluruhan dari orang miskin yang terdampak
dari suatu peristiwa ekonomi misalnya," ungkapnya.
Namun, penggunaan model tersebut membuat Badan Pusat Statistik (BPS) atau Tim Nasional Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) dan Kementerian Sosial sulit menentukan siapa orang-orang miskin yang dimaksud secara real time.
"Memang statistiknya berubah terus, tapi orangnya kan tidak
sebetulnya, ada orangnya semestinya. Tetapi karena menggunakan proxy
yang bersifat top-down itu, metode itu tidak bisa memastikan sasaran
secara tajam,” ucapnya.
Lebih jauh, dia menjelaskan, pertama namanya Exclusion Error adalah
orang yang seharusnya mendapatkan program bantuan sosial, tetapi tidak
mendapatkan. Kategori ini, orang yang seharusnya masuk dalam penerima,
ternyata terlewat.
Kedua, tambah dia, ada namanya Inclusion Error, jadi ada sejumlah orang yang harusnya tidak masuk, malah ada didaftar penerima.
“Maka yang seharusnya tidak dapat Bantuan Sosial (Bansos) ekonomi,
dia berada jauh di atas garis kemiskinan, malah dapat" sambungnya
Manfaatkan Teknologi
Sementara itu, Pengamat Teknologi Informasi dan Komputer dari
Infomation and Communication Technology (ICT) Institute, Heru Sutadi
menilai, permasalahan terkait data warga miskin karena faktor sumber
data. Selain itu, dia melihat proses pengelolaan data juga dilakukan
dengan tidak benar.
"Dalam komputer, garbage in and garbage out, kalau datanya sampah ya
keluarnya sampah. Sehingga, teknologi hanya membantu mencatatkan secara
presesi (perubahan pada rotasi berputar) data kemiskinan dan pembaharuan
data," ujar Heru saat dihubungi merdeka.com, Jumat (1/5).
Heru menggambarkan, penentuan orang miskin, survei orang miskin serta
menemukan orang miskin baru atau sudah tidak miskin. Bisa dilakukan
dengan pengecekan ke lapangan, pengecekan pendapatan, termasuk melalui
pembayaran pajak.
Saat ditanyakan soal pendataan yang sampai saat ini masih door to
door, kata Heru, sistem itu cukup bagus dan efisien, namun dengan
didukung teknologi sebagai penguat data, penyimpan data, pengumpulan
data hingga menyampaikan data kepada masyarakat. Bisa dipakai untuk
mendata warga miskin.
"Door to door bagus dengan memasukkan data dalam aplikasi
terintegrasi. Jadi lebih jelas bisa dimasukan posisi GPS tempat tinggal,
RT/RW, bahkan sekalian foto rumah dan datanya yang diisi harus sama
agar tidak berbeda pengertian dan batasan miskin dan tidak miskin,"
katanya.
Namun kendala pengerjaan penyempurnaan data, menurutnya karena faktor
minimnya koordinasi antara lembaga. Siapa yang melakukan survei,
mengelola, dan hasil data tiba-tiba muncul.
"Apalagi batasan miskin dan tidak miskin kan tidak jelas garisnya. Di
masa pandemi ini apalagi jadi hilang. Ada artis yang kaya raya
tiba-tiba mengaku jadi miskin dengan cicilan Rp 250 juta. Kan ini
membingungkan," tukas Heru.
Mungkinkah Pakai Aplikasi?
Dihubungi terpisah, ahli teknologi Natali Ardianto mengungkapkan
keyakinanya terhadap pemutakhiran data berbasis digital untuk data warga
miskin. Dengan kata lain, mencatat dan melihat kemiskinan hanya melalui
aplikasi.
Menurutnya, hal itu cukup masuk akal dengan mengkolaborasi antara
data dengan teknologi digital. Walaupun pasti biaya ongkos pengerjaannya
mahal, melihat skala Indonesia yang besar.
"Sebenarnya data science solusinya, menggunakan statistik. Itu bisa
banget kok. Lha kita bisa melakukan fast count pemilu dan akurat banget,
kenapa untuk tabulasi orang miskin susah? Kenapa enggak memanfaatkan
pilkada untuk tabulasi dan rekap juga," sebutnya.
Selain itu, Natali mengatakan, terkait data berbasis digital bisa
akurat tergantung cara pengumpulan data, dan tentunya algoritma
perhitungannya.
"Sebenarnya solusinya ada di depan mata, tapi masalahnya kerjasama
interdepartemental di organisasi pemerintah masih belum optimal,"
pungkasnya.
BPS Ungkap Sederet Kendala
Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkap kendala pembaharuan data
kemiskinan. Deputi Bidang Statistik Sosial BPS, Margo Yuwono menilai,
kendala pembaharuan data dikarenakan sumber daya manusia dan anggaran.
"Pertama, kemungkinannya keterbatasan SDM dan anggaran. Kedua, (data)
diupdate tapi prosesnya tidak berjalan dengan baik," kata dia kepada
merdeka.com, Jumat (1/4).
Kemudian, penyebab salah data dikarenakan prosesnya tidak benar dalam
menentukan kategori miskin. Lalu, ada pemerintah daerah yang kurang
peduli terkait pembaharuan data.
Data yang dimaksud ialah Data Kesejahtetaan Sosial Terpadu (DTKS) yang disetor ke Kementerian Sosial.
"Karena updatenya ada di kabupaten atau kota dan variasi antar daerah
tinggi. Ada kepala daerah yang punya kepedulian tinggi, sehingga punya
kepedulian bagus terhadap update data dan terjadi sebaliknya," tuturnya.
Selain itu, Margo menuturkan, BPS melakukan pembaharuan data sesuai
kebutuhan. Ada data untuk kepentingan jangka pendek dan jangka panjang.
Jangka pendek misalnya data inflasi, pertumbuhan ekonomi dan
pengangguran.
Sedangkan jangka panjang data Indeks pembangunan manusia, angka
harapan hidup dan lainnya. Sumber datanya bisa dari survei yang relevan.
Dia menambahkan, untuk survei inflasi, misalnya perkembangan harga
dilakukan tiap bulan. Untuk pengangguran atau survei angkatan kerja
nasional dilakukan Februari dan Agustus. Kemudian, survei
kemiskinan atau survei sosial ekonomi nasional dilakukan tiap bulan Maret dan September tiap tahun.
kemiskinan atau survei sosial ekonomi nasional dilakukan tiap bulan Maret dan September tiap tahun.
"Kalau data yang ada di kemensos (DTKS) itu ada mekanisme tersendiri.
Kalau survei BPS door to door. Kendala yang utama terkadang sulit
menemui responden, sampelnya jadi berkurang," ujar Margo.
Menteri dan Kepala Daerah Saling Tunjuk
Soal data kemiskinan, baik pemerintah pusat maupun daerah juga
tak ingin disalahkan. Pemda menyalahkan Kemensos yang menggunakan data
lama dalam distribusi bansos.
Bupati Bogor Ade Yasin mengatakan, data yang dipakai pemerintah untuk
penerima Bansos tidak mutakhir. Sementara angka kemiskinan selalu
berubah-ubah.
“Kalau pemerintah pakai datanya kan data lama yang dari TKSK (Tenaga
Kesejahteraan Sosial Kecamatan) sehingga tidak ada verifikasi ulang ya
banyak yang salah, banyak ada yang sudah meninggal. Ada salah sasaran,
ya pasti. Cuma di bawahnya repot juga,” jelas Ade Yasin saat dihubungi
merdeka.com.
Dalam hal bantuan Covid-19 ini, Kabupaten Bogor telah menyiapkan
anggaran sendiri. Per kepala keluarga akan mendapatkan 30 Kg beras.
"Bantuan beras 30 kg per KK (Kepala Keluarga)," kata dia.
Menurut dia, untuk menjalankan program tersebut, pihaknya telah
menganggarkan sekitar Rp188 miliar. "Kalau kita kan menganggarkan
200.000 penerima, KK. Sekitar Rp188 miliar untuk beli beras.
Masing-masing KK dapat 30 kilogram," jelas dia.
Itu hanya satu contoh keruwetan penyaluran Bansos yang dilakukan
pemerintah pusat kepada warga miskin. Bahkan, Bupati Bolaang Mongondow
Timur (Boltim) Sehan Salim Landjar, sampai ngamuk-ngamuk. Dia curhat,
warganya sudah kelaparan, tapi BLT belum juga cair. Salah satu
kendalanya, mereka yang tercatat penerima BLT, tak boleh terima bansos
lain.
Menteri Sosial (Mensos), Juliari Batubara menjelaskan detil proses
penyaluran bansos melalui data yang dimilikinya. Dalam hal ini, Kemensos
tak memakai data dari BPS.
Pria yang akrab disapa Ari ini menuturkan, awalnya data diambil dari
Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Badan Statistik Nasional tahun
2015. Lalu, pusat data informasi Kemensos setiap 3 bulan melakukan
pembaharuan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) dari Dinas Sosial
Kabupaten atau Kota.
"Lebih baik tau prosesnya dulu, semua kan pake proses. Kita gak akan
asal tulis data lah," ucap Juliari kepada merdeka.com, Selasa (28/4).
Ari menjelaskan, Dinas Sosial daerah mengumpulkan data-data warga
dari hasil musyawarah desa di kabupaten atau musyawarah kelurahan untuk
kota. Dia bilang, proses itu sudah digunakan sejak lama.
Politikus PDIP
pun merasa aneh apabila kepala daerah menyalahkan data Kemensos yang
tak valid. Sebab, data tersebut justru diambil dari daerah.
"Nah silakan kalian pikir sekarang, kalau ada daerah yang
teriak-teriak datanya tidak betul, siapa yang harus bertanggungjawab?
Ini sudah berjalan tahunan seperti ini," ujar Ari.
Menurut Ari, kesalahan data di Kemensos tidak mungkin terjadi karena
salah input atau sistem. Sebab, sistem akan menolak jika nama dan Nomor
Induk Kependudukan (NIK) yang dimasukkan tidak sesuai.
"Kan otomatis kalau nama & NIK yang diinput tidak sesuai, sistem
akan tolak. Tanyakan ke mereka (Dinsos Kabupaten/kota) jangan tanya
kemensos terus. Kemensos sekarang ini sudah enggak ada benarnya," ujar
Ari lagi.
Pakai Data Kemiskinan 2015
Direktur Smeru Research Institute, Widjajanti Isdijoso, menduga
salah satu hambatan dalam penyaluran bantuan sosial (bansos) yang tepat
sasar berkaitan dengan data. Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTSK)
yang saat ini digunakan, kata dia, tidak diperbaharui sejak 2015.
"Kita tahu bahwa data itu di-update secara memadai di tahun 2015
kemudian tidak ada updating secara besar-besaran," kata dia, dalam
diskusi virtual 'Ngobrol Tempo', Kamis (30/4).
Dampaknya tentu saja pada keakuratan data. Lima tahun tidak
diperbaharui membuat keakuratan data pasti turun. Padahal sementara
objek data yang dihimpun yakni kemiskinan, perkembangannya fluktuatif.
"Kalau dibuat 2015, kita hitung keakuratannya sekitar 85 persen.
Karena kemiskinan itu fluktuatif. Tentunya kalau ini tidak diupdate
secara memadai tentu keakuratannya akan turun. Sekarang ini kalau dengan
ketepatan sasaran saat ini, ini lebih rumit lagi. Karena ada
kemungkinan orang-orang bahkan yang di atas 40 persen. DTKS ini kan
isinya 40 persen orang termiskin. Ada orang yang tidak termasuk 40
persen ini yang tiba-tiba jatuh miskin. Ini yang memang menjadi rumit,"
terang dia.
"Misalnya orang kerja di Cafe dulu mereka mungkin tidak sampai masuk
40 persen itu. Bahkan mungkin sekarang sama sekali tidak punya
penghasilan. Jadi ini yang tentunya, kami menyatakan dalam kondisi
krisis seperti ini membutuhkan treatment yang istimewa," imbuh dia.
Tanggung jawab untuk melakukan pembaharuan data kemudian diserahkan
kepada pemerintah daerah (Pemda). Di saat yang sama, pemda juga
mengalami hambatan dalam melakukan pembaruan data.
"Nah membangun satu sistem yang baru ini cukup rumit juga. Karena
tidak semua daerah melakukan update secara memadai. Mungkin untuk
beberapa daerah, khususnya di kota itu sumber daya orang di Dinas
Sosialnya cukup bagus. Tapi di beberapa kabupaten yang masih kurang
begitu maju, mereka kesulitan sebetulnya melakukan pendataan,"
ungkapnya.
"Kita tahu bahwa dari tahun 2015-2019 tentunya keakuratan data ini
semakin berkurang. Misalnya di tahun 2019 kami mendapatkan data ada
sekitar 60 kabupaten yang tidak melakukan updating. Dari kabupaten kota
yang updating juga, ternyata mereka juga tidak melakukan updating-nya
tidak terlalu akurat. Karena sumber daya keuangan maupun orang memang
sangat terbatas," lanjut dia.
Sekretaris Jenderal Kementerian Sosial (Kemensos), Hartono Laras,
mengakui sudah hampir 5 tahun tidak terjadi pemutakhiran basis data
terpadu secara besar di tahun 2015. "Memang ini sudah 5 tahun ya. Kita
sudah mengusulkan juga untuk dilakukan suatu pemutakhiran data secara
menyeluruh," ungkapnya.
"Tapi sambil menunggu itu, ya sejak tahun 2015 kita telah membangun
satu sistem informasi kesejahteraan sosial, tetap kita gunakan itu. ada
yang digunakan untuk program PKH, ada yang BPNT dan sebagainya,"
katanya.
Pihaknya juga terus mendorong pemda untuk melakukan pemutakhiran data
tersebut. Sebab basis data yang akurat amat dibutuhkan dalam penyaluran
bansos. Apalagi dalam kondisi pandemi Covid-19 seperti sekarang.
"Kita terus mendorong pada daerah untuk terus melakukan update data
ini. Data ini sangat penting. Ketika kita menghadapi situasi seperti
ini. Ini kita juga sangat beruntung masih ada data yang kemudian ada
dalam DTKS dan untuk implementasi programnya silakan daerah yang lebih
tahu tentu saya yakin akan hati-hati untuk menentukan siapa yang layak
untuk mendapatkan bantuan," tandasnya.
0 comments:
Post a Comment