SERANG, (KB).- Gubernur Banten Wahidin Halim
mengkritik Penerimaan Peserta Didik Baru ( PPDB) dengan sistem zonasi
yang dinilai tidak cocok diterapkan di Banten.
WH mengatakan, penilaian bahwa PPDB sistem zonasi tidak cocok
diterapkan di Banten didasari beberapa pertimbangan. Pertama, rasio
antara jumlah sekolah yang ada secara fisik tidak sebanding dengan
kebutuhan minat pendidikan yang cukup tinggi.
“Kedua, penduduk Banten cukup besar per kecamatan. Jadi kalo selama
ini alokasinya per kecamatan satu sekolah, sekolah negeri inikan
pastinya enggak mampu menampung,” kata ujarnya di Kantor Bappeda Banten,
KP3B, Kecamatan Curug, Kota Serang, Senin (1/7/2019).
Ketiga, minat sekolah masyarakat ke negeri semakin meningkat dengan
adanya pendidikan gratis. Disisi lain sekolah sendiri jumlah terbatas.
“Keempat, tanpa ada standar minimal siapa yang diterima itu, apa yang
diterima apa yang prestasi atau orang miskin atau orang kaya,” ujarnya.
Penggunaan sistem zonasi dalam PPDB diakuinya memiliki tujuan yang
baik, yaitu untuk pemerataan agar semua masyarakat mendapat akses yang
sama.
“Tapi kan akhirnya juga tidak mendapat akses yang sama karena kuota
terbatas. Jumlah rombongan belajar terbatas, fasilitas terbatas. Yang
harus didahulukan tadinya adalah bagaimana kita memenuhi kebutuhan itu.
Jadi memenuhi sekolah yang kita bangun kemudian jumlah rombongan belajar
yang kita siapkan, dengan asumsi bahwa ini sesuai dengan kebutuhan
masyarakat,” ucapnya.
Pada daerah yang padat penduduk dan animo masyarakat rendah, lanjut
dia, PPDB sistem zonasi mungkin tidak menemui masalah. Namun, kondisi
sebaliknya terjadi di wilayah yang padat penduduk dan animo masyarakat
untuk bersekolah tinggi.
“Ditambah dengan gratis mereka pengen sekolah, di sekolah itu dengan
sistim zonasi. Sistem zonasi itu kan pada akhirnya menjadi enggak jelas.
Berapa kilo meter dari sekolah, apakah kita sepakat satu kilometer, dua
kilometer atau tiga kilometer. Kalau kriteria yang prestasi kan kita
tinggal lihat yang rata-rata 10 berapa yang 9, rating dan passing
grade-nya jelas. Siapa yang mau sekolah di situ dia mikir,” tuturnya.
Minta rombel ditambah
Untuk itu, dia meminta rombongan belajar (rombel) di SMA/K Negeri di
Banten ditambah. Penambahan rombel tersebut untuk mengakomodasi siswa
berprestasi yang tidak dapat masuk sekolah akibat terhalang sistem
zonasi dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB).
Dia mengatakan, pihaknya telah meminta Sekda Banten Al Muktabar
berkoordinasi dengan pihak terkait. Upaya itu dilakukan untuk mengetahui
seberapa banyak masyarakat berprestasi yang tidak dapat melanjutkan
sekolah yang diakibatkan sistem zonasi.
“Mereka ke swasta tidak sanggup membiayai, sekolah negeri mereka
tidak dapat, mereka kan harus diakomodasi. Yang terpenting apakah kita
perlu tambah rombongan belajar baru,” ucapnya.
Keinginan penambahan rombel tersebut akan dikonsultasikan dengan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Konsultasi
dilakukan agar kebijakan yang diambil tidak menabrak aturan.
“Kita minta pertimbangan apakah kita perlu tambah rombongan belajar
bagi mereka yang belum terakomodasi. Mereka punya prestasi mereka tidak
sanggup membiayai sekolahnya. Kita juga siapkan gratis tapi mereka tidak
terima karena zonanya mereka di sekolah ini jauh. Sekolah ini jauh
mereka ada di perbatasan itu, mereka kalah dong dengan yang satu
kilometer. Satu kilometer mereka enggak punya prestasi tapi ada sekitar
itu,” ujarnya.
Jika penambahan rombel tersebut disetujui, mantan Anggota DPR RI ini
menuturkan, pemprov siap mengucurkan dana BOSDa tambahan melalui APBD.
“Itu menjadi risiko kita enggak ada masalah. BOSDa saya dengan dewan
sepakat selama mereka bisa sekolah, daripada mereka bisa sekolah,”
ucapnya.
Terkait pengumuman PPDB yang sempat tertunda, mantan Wali Kota
Tangerang ini menjelaskan, hal itu terjadi akibat adanya penambahan
kuota kursi dari lima menjadi 15 persen. “Jadi perlu waktu juga untuk
mengelolanya yang 15 persen itu aja sih,” tuturnya.
Ombudsman cium praktik pungli
Sementara itu, Ombudsman RI Perwakilan Banten mencium adanya praktik
pungutan liar (pungli) atas pelaksanaan Penerimaan Peserta Didik Baru
(PPDB) 2019. Dugaan itu muncul setelah sejumlah warga mengadu pasca
pengumuman tersebut diundur oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan
(Disdikbud) Provinsi Banten menjadi Ahad (30/6/2019).
Kepala Ombudsman RI Perwakilan Banten Bambang P Sumo mengatakan,
pihaknya banyak menerima aduan dari masyarakat Banten terkait karut
marutnya pelaksanaan PPDB 2019. Mulai dari adanya praktik pungli supaya
peserta didik bisa masuk di sekolah tertentu, hingga adanya dugaan siswa
titipan.
“Banyak yang mengadu ke kami, tapi mereka belum melaporkan secara
resmi. Contohnya, ada yang mengaku ditawari dengan membayar sejumlah
uang. Kaitan dengan tawaran pungutan ini, kita tentu harus dapat
membuktikan,” kata Bambang saat dikonfirmasi wartawan, Senin (1/7/2019).
Selain pungli, ombudsman juga mencium adanya siswa titipan di
sekolah-sekolah favorit di Banten. Indikasinya, peserta yang sebelumnya
masuk daftar di nomor urut tertentu, tiba-tiba hilang dan digantikan
oleh peserta lain. Padahal, kuota penerimaan peserta didik di sekolah
tersebut masih memungkinkan.
“Kemudian ada juga yang sudah terdaftar di rangking tertentu,
tiba-tiba hilang. Padahal masih masuk dalam kuota. Meski ada laporan,
tapi kami harus membuktikan aduan ini. Kami juga belum menerima bukti
konkret dari masyarakat,” ujarnya.
Bambang menyebut, pihaknya akan menemui kesulitan untuk membuktikan
aduan terkait PPDB 2019. Selain perlu bukti-bukti yang menguatkan, wali
murid yang sudah rela membayar sejumlah uang dan segan untuk berterus
terang, karena khawatir anaknya dicoret dari sekolah tersebut. “Memang
susah kalau (pembuktian praktik pungli) itu. Korban yang membayar kan
nanti rugi kalau lapor,” tuturnya.
Selain dugaan praktik pungli, Ombudsman RI Perwakilan Banten juga
memiliki catatan atas pelaksanaan PPDB 2019. Khususnya, penerapan sistem
zonasi yang masih menemui kendala dan terkesan mengenyampingkan
prestasi siswa di suatu wilayah.
Belum lagi, Ombudsman menemukan adanya satu kecamatan yang tercatat
tidak memiliki sekolah negeri untuk menampung pendaftaran peserta didik
baru. Hal itu, menurutnya, hampir terjadi di 8 kabupaten dan kota di
Banten.
“Ada temuan di satu tempat. Misalnya KK (kartu keluarga)-nya tidak
bisa diterima di suatu sekolah. Ada juga satu kecamatan yang tidak punya
SMA atau SMK negeri. Seharusnya, pemda sudah bisa mengantisipasi hal
itu supaya tidak terjadi kisruh seperti ini,” kata Bambang.







0 comments:
Post a Comment