JAKARTA - Badan Kerjasama Antar Parlemen (BKSAP) DPR RI
mendesak komunitas internasional, termasuk PBB, untuk lebih serius
melindungi hak-hak anak-anak Palestina .
Aksi
mengutuk kejahatan Israel terhadap anak-anak Palestina tidaklah cukup.
Secara moral komunitas internasional bertanggung jawab atas implementasi
Konvensi Hak Anak, yang juga telah diratifikasi Israel.
“Aksi
brutal tentara Israel yang telah menembak mati seorang remaja Palestina
berusia 16 tahun, Saeed Yusuf Muhammad Oudeh, pada sebuah bentrokan yang
terjadi di dekat kota Nablus, Tepi Barat, bebersapa hari lalu, perlu
dikutuk dunia,” ungkap Ketua Badan Kerjasama Antar Parlemen (BKSAP) DPR
RI dan Wakil Presiden The League of Parliamentarians for Al-Quds Fadli
Zon.Tindakan brutal itu kian memperpanjang daftar kekerasan dan pelanggaran
kemanusiaan yang dilakukan oleh tentara Israel terhadap anak-anak
Palestina. Menurut Defense for Children International Palestine (DCIP), tentara
Israel terus-menerus melakukan extra judicial killing terhadap anak-anak
Palestina, bahkan ketika mereka sebenarnya tidak sedang menimbulkan
ancaman.
Israel adalah satu-satunya negara di dunia yang
menjadikan anak-anak sebagai obyek dalam sistem pengadilan militer, yang
tidak memenuhi standar peradilan adil internasional. Dan sasaran mereka tak lain adalah anak-anak Palestina. Sebab, sejauh
ini tak pernah seorangpun anak-anak Israel pernah tersentuh oleh sistem
hukum yang sama.
Menurut laporan UNICEF, tiap tahun sekitar 500
hingga 700 anak Palestina ditangkap oleh Polisi Israel karena
pelanggaran-pelanggaran kecil, seperti melempar batu, atau terlibat aksi
protes.
Namun, mereka diperlakukan secara kasar dan brutal.
Mereka, misalnya, ditutup matanya, diintimidasi, ditelanjangi, dan
dilecehkan secara fisik. Sejak tahun 2016, otoritas Israel diketahui semakin brutal dalam memperlakukan anak-anak Palestina.
Mereka
seringkali ditempatkan di sel-sel isolasi untuk diinterogasi guna
kepentingan intelijen, sebuah praktik yang dalam rezim hukum
internasional termasuk kategori penyiksaan.
Selain itu, mereka
juga tak segan menahan anak berusia di bawah 12 tahun, yang secara hukum
sebenarnya tak bisa dikenai tanggung jawab pidana.
Pada akhir
April lalu, misalnya, Israel mengakui telah menahan lima orang anak
Palestina, di mana tiga di antaranya baru berusia delapan tahun.
“Anak-anak
itu ditangkap di daerah Masafer Yatta di perbukitan Hebron selatan,
yang merupakan kantong penduduk Palestina. Itu adalah sebuah tindakan
biadab,” tegas Fadli Zon.
Anak-anak, perempuan, dan lansia
mestinya menjadi kelompok yang dilindungi, bahkan di tengah-tengah
peperangan sekalipun. Namun, hal ini diabaikan oleh otoritas Israel.
Bahkan,
beberapa jam sebelum Saeed Yusuf Muhammad Oudeh dibunuh, tentara Israel
telah menembak mati Rehab al-Hroub, seorang perempuan Palestina berusia
60 tahun.
Menurut data DCIP, sejak tahun 2000, lebih dari 10
ribu anak Palestina di Tepi Barat telah ditahan oleh tentara Israel.
Tiga dari empat anak yang ditangkap mengalami kekerasan fisik selama
penangkapan, dan lebih dari 90 persen anak-anak Palestina yang dibawa ke
pengadilan militer dihukum.
Lembaga-lembaga internasional,
seperti UNICEF, Human Rights Watch, atau Amnesty International, telah
mendokumentasikan perlakuan buruk terhadap anak-anak Palestina tersebut,
yang bersifat sistematis dan melembaga.
“BKSAP DPR-RI
menyatakan, harus ada upaya paksa terhadap Israel untuk mematuhi hukum
internasional dan berhenti melakukan tindakan-tindakan ilegal,” papar
Fadli Zon.
Dia menegaskan, “Kita sangat mendukung jika para
pelaku penembakan itu dibawa ke International Criminal Court.
Penderitaan anak-anak Palestina harus segera dihentikan dan isu ini
harus menjadi perhatian dunia.
0 comments:
Post a Comment